Sabtu, 02 Mei 2009

Mengembalikan pendidikan yang dicuri

Tulisan ini bukan hasil dari sebuah kontemplasi. Untuk bisa menjadi orang yang kontemplatif diperlukan kejernihan jiwa, olah pikir dan hati yang tertata. Bukan juga hasil dari penerawangan karena saya bukan dukun.
Karena saya guru yang setiap hari bergelut dengan pendidikan, tulisan ini semacam testimoni atau kesaksian dari pelaku pendidikan. Dengan testimoni, ada keintiman antara pemberi kesaksian dengan subjeknya. Testimoni bukan pula ngudarasa karena ngudarasa cenderung mengeluh mengeluarkan unek-unek.Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) meluncurkan program StAR Initiative—Stollen Asset Recovery Initiative atau Program Inisiatif Pengembalian Aset Yang Dicuri oleh para pemimpin negara/pemerintahan yang berjiwa korup.Dengan program STAR itu, mereka yang secara sukarela mengembalikan aset negara yang dicuri, akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Artikel ini diilhami oleh program PBB itu. Saat pengambilan sumpah pejabat , wajah mereka kelu, tegang, mungkin karena saat mengucapkan sumpah yang terlintas adalah bagaimana cara agar posisi yang diduduki akan memberikan keuntungan untuk mengembalikan modal yang telah keluar untuk mendapat jabatan tersebut. Di Indonesia, tidak ada jabatan yang gratis, no free lunch (tak ada makan siang gratis). Jadi, ya, korupsi, termasuk di dunia pendidikan.Aset pendidikan yang dicuri itu meliputi aset fisik dan nonfisik. Yang fisik berwujud korupsi uang yang seharusnya untuk anak didik. Yang nonfisik berupa sistem hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, sehingga membuat rakyat semakin sulit memperoleh dan mengakses pendidikan dan tercerabutnya anak-anak dari sistem pendidikan atau sekolah yang menyenangkan.Pendidikan dijalankan oleh birokrat yang sibuk berbicara tanpa henti, tetapi malas untuk mendengar dan bertanya. Ketika pejabat di bidang pendidikan sibuk berbicara maka ia kehilangan kepekaan. Kemalasan mendengar rakyat akan melahirkan tiran. Malas bertanya kehilangan kecerdasan dan sikap kritis.Bertanya, menurut mantan CEO Harley Davidson, Rich Teerlink, merupakan sarana kepemimpinan yang memiliki derajat dan efektivitas lebih tinggi. Dengan bertanya, kebenaran akan teruji. Dengan mendengar, akan lahir sikap waskita. Dengan diam, hati akan terasah. Kata Jalaludin Rumi, dalam diam ada pembicaraan yang abadi.Ki Hadjar Dewantara pasti termenung bahkan menangis jika masih hidup, menyaksikan pendidikan melenceng dari rel yang sebenarnya. Sesanti Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani dengan kedalaman arti yang luar biasa dan bersifat wingit, oleh birokrat yang bermental korup diubah menjadi Ing ngarsa numpuk bandha, Ing madya wani dosa, tut wuri padha korupsi. Tengoklah banyaknya pejabat atau mantan pejabat yang dihukum karena mereka mengorupsi uang buku ajar yang semestinya menjadi hak rakyat. Ini ironis sekali. Perilaku korup, menurut sastrawan peraih Nobel Rabindranath Tagore, ibarat mencuri dan mengambil nasi dari periuk-periuk rakyat. Ia nista dan menghina kehidupan. Jika anggaran tidak dikorup, artinya anak-anak dapat bersekolah. Dengan menyenyam pendidikan, mereka bisa menjalani kehidupan lebih baik.Sebuah contoh, dugaan korupsi dana buku ajar SD-SMP-SMA di sebuah kota senilai Rp 3,7 miliar. Andai saja uang tersebut tepat peruntukannya, untuk membeli buku seharga Rp 20.000/eksemplar, maka akan terbeli sebanyak 185.000 eksemplar buku yang bisa dimanfaatkan oleh siswa. Mengapa banyak gedung sekolah roboh, reyot dan telantar? Karena gedung dibangun asal-asalan. Dana alokasi khusus (DAK) untuk rehabilitasi gedung senilai Rp 70 juta, yang sampai dan diterima oleh kepala sekolah hanya Rp 43 juta. Asumsinya, jika plafon anggaran yang Rp 70 juta itu diterima utuh, akan mewujud bangunan kokoh. Dicuri oleh sistemPendidikan yang menjadi hak setiap warga negara akhirnya menjadi barang mewah. Tidak semua warga bisa menjangkau karena mahalnya biaya pendidikan. UU Badan Hukum Pendidikan adalah embrionya. UU BHP sangat jauh dari semangat memberikan pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Maka, tidak heran jika banyak kalangan menolak UU tersebut.Memang di setiap tempat dibangun gedung sekolah. Tetapi tidak setiap anak dapat masuk sekolah, tidak setiap orangtua mampu menyekolahkan anak mereka. Mengapa dapat terjadi? Bukan karena rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, melainkan mahalnya biaya pendidikan. Angka putus sekolah di Indonesia sekitar 12 juta anak. Politisasi pendidikan dengan jargon pendidikan gratis justru menjadi racun untuk masyarakat. Pendidikan gratis ibarat mimpi. Rakyat ingin mutu meski harus membayar. Contohnya adalah sekolah swasta favorit dan mahal tetap menjadi rebutan orangtua karena ada jaminan mutu. Tetapi, sekolah-sekolah negeri banyak yang gulung tikar atau digabung karena kualitas yang rendah. Gejala apa ini? Bukan karena suksesnya program KB sehingga kekurangan murid. Tetapi orangtua sudah sadar akan mutu pendidikan yang baik.Dicuri sekolahPelaku pencurian yang ketiga adalah lembaga pendidikan tempat anak menuntut ilmu. Pencuri ini tidak kentara, tetapi sangat buruk dampaknya terutama terhadap tumbuh kembang sang anak. Ketika anak-anak kehilangan kegembiraan dalam belajar, saat sekolah memberikan target terlalu tinggi, saat itu pula sekolah menjelma menjadi penjara untuk anak-anak.Pendidikan harus dijalani oleh anak-anak dengan penuh kegembiraan. Gembiranya anak-anak saat menuntut ilmu itulah, kata para sufi, yang dapat membuat malaikat tersenyum. Bersekolah harus ditempuh dengan kegembiraan. Ia ibarat taman bunga yang menarik kupu-kupu untuk datang. Itulah sebabnya Ki Hadjar Dewantara menamakan “taman” bukan sekolah.Bersekolah akan penuh kegembiraan jika pengajaran adalah sebuah art (seni) dari sang guru. Bukan pengajaran sebagai ”kiat” dari sang guru. Mendidik sebagai art akan menyentuh hati anak dan akan mendahulukan proses dari pada hasil. Sementara mendidik sebagai ”kiat” hanya menyentuh otak anak yang akan mengutamakan hasil.Sekolah memberikan beban yang melebihi batas dan kemampuan anak. Tak heran jika anak melihat sekolah sebagai penjara. Atas nama tuntutan kurikulum, materi yang diberikan terlalu tinggi. Atas nama peningkatan peringkat sekolah, anak didik digenjot melebihi kemampuan dan tugas perkembangan usianya.Anak didik ibarat pohon. Jika ada anak yang bodoh dalam belajarnya, nakal tingkah lakunya, semua ibarat ranting kering. Melihat ranting bukan berarti melihat pohon. Karena ranting, kata Gede Prama, bukanlah pohon. Anak juga demikian. Lihatlah anak secara utuh sesuai dengan tingkat umur dan kemampuannya. Jika ada anak yang kurang dalam satu hal, jangan divonis kurang secara keseluruhan.Ada nilai lebih yang belum terlihat dan belum tergali. Anak cerdas, jika dididik secara tidak tepat, dia tidak akan berkembang. Sebaliknya, anak yang memiliki kekurangan akan berubah baik jika dididik secara tepat. Kembalikanlah pendidikan yang dicuri kepada anak didik. Semoga! (SOLOPOS,2 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar