Sabtu, 13 Juni 2009

Naik kelas, naik tensi, naik beban

SOLOPOS,10 Juni 2009.
Saat pendidikan menjadi ketidakpastian, yang menjadi korban dari ketidakpastian itu adalah pihak sekolah, orangtua dan murid. Ketidakpastian yang setiap tahun datang menyapa tidak pernah berubah menjadi sebuah kepastian agar ketiga pihak tadi memasuki tahun ajaran baru dengan tenang dan pasti.
Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya sangat sederhana yaitu mengelola pendidikan dengan kedangkalan makna. Pendidikan adalah sebuah proses menyeluruh, jadi melihat pendidikan harus dengan seluruh aspek. Ketidakpastian yang selalu menghantui dunia pendidikan jangan diharapkan membuat dunia pendidikan Indonesia maju dan sejajar dengan negara lain.Selalu berubahMemasuki tahun ajaran baru, guru selalu diliputi dan dihinggapi tanda tanya besar. Ada apa dengan tahun ajaran nanti? Apakah ada hal yang berubah dan berbeda dengan tahun ajaran kemarin? Kalau ada lantas perangkat pembelajaran apa lagi yang harus saya siapkan? Pertanyaan ini selalu menghantui sebab guru adalah korban pertama atas kebijakan yang tidak berkesinambungan. Setiap hal baru selalu membawa konsekuensi. Kebijakan kependidikan baru juga demikian. Yang merepotkan adalah kebijakan baru dalam dunia pendidikan tidak mudah diimplementasikan sebagaimana pada bidang yang lain. Saya ambil contoh dalam perubahan kurikulum yang diambil tanpa ada sosialisasi memadai kepada guru. Sosialisasi (jika ada) tidak pernah menyentuh hal mendasar mengapa kebijakan itu diambil. Maka, ketika hal itu diterapkan, para guru tergagap-gagap bukan pada ketidaksiapan mengajar dengan berbekal kurikulum baru, melainkan kesiapan administrasi pengajaran baik dalam bentuk penyiapan rancangan pembelajaran, program semester, pemilihan buku penunjang baik untuk anak didik maupun untuk guru. Karena semua berubah, parameter yang digunakan juga harus berubah mengikuti arah perubahan itu.Kelihatannya sangat sederhana, namun implementasinya sangat kompleks. Materi pelajaran tidak banyak berubah, jadi guru tidak tergagap, yang berubah adalah dasar pijakan yang akan diterapkan kepada anak didik dan disosialisasikan kepada orangtua dan dipertanggungjawabkan secara etik profesi. Membuat anak pintar, cerdas adalah perkara mudah. Yang terasa sulit adalah perangkat untuk menjadikan anak menjadi cerdas. Ketika kurikulum berubah maka alokasi waktu, bentuk evaluasi, penyiapan perangkat praktikum, aspek penilaian anak juga berubah. Ini hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kerikil yang ada di hadapan guru.PungutanSetiap tahun ajaran baru, orangtua dihadapkan pada rasa cemas. Mereka harus mencari sekolah baru untuk anaknya hingga mengawal anak yang naik kelas. Kecemasan itu menyangkut uang yang harus disiapkan. Dalam hal pungutan, tidak ada perbedaan antara sekolah negeri dengan swasta. Sekolah negeri yang semestinya steril dari aneka pungutan, praktiknya tetap ada dengan dibungkus berbagai nama. Orangtua juga menghadapi anak yang setiap tahun ajaran baru berarti buku baru, sepatu baru dan seragam baru.Apa lagi untuk di Kota Solo, ada dasar hukum sebagai acuan untuk memindahkan uang dari kantong orangtua ke kantong sekolah yaitu Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang merupakan revisi atas Surat Edaran Walikota No.422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008. SE No.422.1/875 dengan jelas memberi batasan kepada pihak sekolah tentang pengecualian kepada keluarga miskin. Spirit SE ini bagus karena mendasarkan rasa keadilan. Menyamakan orang miskin dengan orang kaya sangat tidak adil. Biarkan orang yang kaya dan mampu mengeluarkan uang untuk sekolah. Masyarakat tinggal mengawal pelaksanaan SE itu tepat sasaran atau meleset.Biaya pendidikan sebenarnya murah dan sudah dibebaskan di sekolah negeri dengan adanya BOS dari pemerintah namun tetap ada pungutan di tengah jalan seperti untuk seragam dari sepatu sampai baju, buku paket, study tour, kenang-kenangan dan lain-lain. Komposisi pungutan di tengah jalan tidak sebanding dan jauh lebih besar dengan biaya resmi yang ditanggung oleh BOS yang hanya menanggung biaya sekolah minus biaya fasilitas sekolah.Ada sekolah yang mewajibkan anak membeli peralatan seragam berlogo sekolah dari koperasi seperti sabuk, kaus kaki, yang ujung-ujungnya dijual dengan harga mencekik leher. Mengapa tidak memberi kesempatan dan membebaskan orangtua membeli di luar sekolah, kecuali seragam olahraga dan baju batik yang memiliki ciri khusus identitas sekolah? Objek pendidikanBuku paket sekolah juga memberatkan. Banyak guru yang menjadi agen penerbit. Banyak penerbit yang setiap tahun berganti materi, halaman buku sehingga buku bekas kakak tidak dapat dipakai oleh sang adik. Mereka juga memakai segala macam cara pendekatan kepada pihak sekolah agar memakai buku terbitan mereka. Padahal sekolah sudah membebaskan orangtua untuk mencari di luar. Mata rantai inilah yang harus diputus dan dihilangkan. Kalau semua bisa dihilangkan, niscaya denyut jantung orangtua tidak berdetak kencang.Murid ibarat kelinci percobaan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan yang diambil secara tidak transparan dan kerangka tujuan yang jelas menjadikan anak didik menjadi korban. Inilah yang menjadi pokok permasalahan mengapa banyak pihak antara lain di parlemen, pengamat pendidikan dan praktisi pendidikan senantiasa menyerang setiap kebijakan yang diambil oleh Menteri Pendidikan Nasional meskipun kebijakan itu bagus. Pengambilan keputusan bukan atas pertimbangan yang menempatkan anak sebagai subjek pendidikan tetapi lebih pada pertimbangan politis semata. Lihatlah bagaimana kebingungan 315 siswa SMA Negeri 2 Ngawi dan 140 siswa SMA Negeri Wungu Kabupaten Madiun menyeruak manakala mereka diminta mengulang UN tanpa mengetahui apa kesalahan mereka (Kompas, 5/6). Aduh! Tak cukupkah satu korban dari murid atas kebijakan UN ini?Beban itu harus tetap dipikul oleh sekolah, orangtua dan anak didik. Jangan harap akan lahir rasa empati melihat beban itu dari jajaran Menteri Pendidikan Nasional karena mereka tidak peduli dan tidak mau tahu sebab hanya mengejar target seperti robot.Yang kita inginkan sekarang adalah tampilnya pihak yang betul-betul punya hati, mau mendengar, concern dan memandang pendidikan secara menyeluruh bukanya parsial. Siapa mereka? Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak gemar menghembuskan angin surga dan bersemangat asal bapak senang (ABS), tetapi pribadi-pribadi mau menampilkan kepahitan dunia pendidikan meskipun menyakitkan agar kelak membawa manisnya pendidikan

Kamis, 04 Juni 2009

Pendidikan itu mencerdaskan,kebudayaan itu mencerahkan

Saat beberapa guru yang tergabung dalam wadah Forum Canthing Solo yang bergiat dalam ranah pendidikan dan kebudayaan meluncurkan situs/website saya setengah ditodong untuk mengisi laman untuk yang pertama kali. Aneh juga mengapa saya,karena saya bukanlah orang yang tepat.Namun atas nama esprit de corp saya menulis sebisanya dan sekenanya mengupas pendidikan dan budaya secara pendek di laman tersebut, dan artikel ini hendak mengelaborasi tulisan saya itu.
Forum itu berdiri dengan idealisme penuh khas seorang guru yang setiap hari bergulat dengan anak,mengawal anak sehingga terhindar dari hal-hal buruk yang kelak akan membebani bangsanya.Jadi forum ini perlu diapresiasi.Sebab pendidikan dan kebudayaan tidak semata-mata urusan kerja otak kanan dan kiri agar seimbang.Pendidikanlah yang akan menuntun sebuah bangsa.Lewat kebudayaan sebuah bangsa dapat belajar untuk terus bertahan,mencipta dan memberi warna kepada kehidupan.
Pendidikan itu mengawal bangsa
Pendidikan itu mencerdaskan pasti semua fihak percaya.Pendidikan mengubah sebuah hal dari yang paling sederhana-katakanlah yang paling sederhana-mengenal huruf dan angka,dari tidak tahu menjadi tahu sampai yang rumit yaitu mengenal sistem nilai mana yang baik dan buruk dan lain-lain.Jika dirujuk lebih jauh pendidikan adalah usaha untuk membuat jati diri sebuah bangsa tampak dimata bangsa lain dan bangsa sendiri.Dari pendidikan kita tahu sampai seberapa jauh peradaban suatu bangsa hadir,berkembang dan bertahan.Pendidikan juga mencerminkan nilai keunggulan sebuah bangsa atas bangsa lain.Dalam persfektif agama,hampir semua agama menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu.
Pendidikan yang mencerdaskan memberi roh yang akan menuntun anak bangsa.Mengapa hal pertama yang ditanyakan oleh Kaisar Hirohito pasca kekalahan Jepang dari Sekutu adalah seberapa banyak jumlah guru yang masih selamat?.Artinya pendidikan sebagai hal utama.Kaisar Hirohito memiliki keyakinan bahwa kebangkitan bangsa Jepang dari keterpurukan akan diraih jika pendidikan yang menjadi prioritas.Pendidikan akan menemukan mata rantai terputus yang akan mengurai dari mana reputasi bangsa hendak diraih kembali.Maka tak mengherankan Jepang mampu muncul sebagai kekuatan ekonomi,tehnologi dan industri,perdagangan dengan tidak melepaskan satu hal pun yang merupakan ciri bangsa Jepang.Pendek kata pendidikan mengawal bangsa Jepang.
Pendidikan ibarat bangunan yang tidak pernah paripurna/unfinished building.Ia harus terus dipercantik,baca:ditingkatkan mutunya dengan menambah aneka ornament,merehabilitasi yang rusak.Mempercantik sebuah bangunan tidak sama dengan membuat bangunan baru karena memerlukan investasi yang mahal.Cukuplah merawat yang ada,menambah hal-hal kecil jika dipandang perlu.Untuk kasus di Indonesia,kebijakan kependidikan jauh dari semangat kontinuitas.Maka tak heran jika kebijakan secara tambal sulam.Akibatnya pendidikan di Indonesia gagal menuntun bangsanya meretas tantangan masa depan.Lulusan lembaga pendidikan tidak mandiri dan hadir sebagai generasi penyusu.
Kecerdasan sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan dapat mengawal bangsa memasuki perubahan zaman dan dinamika peradaban.Ia menjadi inheren dalam diri bangsa yaitu keunggulan,kemajuan,naiknya harkat dan martabat serta lahirnya kebanggaan.Syair lagu Kebangsaan Indonesia Raya berbunyi bangunlah jiwanya bangunlah badannya seolah menjadi kompas penunjuk arah yang hendak dituju.Jika jiwa sudah terbangun,terisi maka tidak sulit untuk merentas kehidupan yang lebih baik dalam aspek badaniah.
Dengan pendidikan,cita-cita sebuah bangsa digantungkan.Tak ada generasi cerdas yang lahir tanpa pendidikan.Tak ada bangsa maju yang mengabaikan pendidikan.Melihat Indonesia yang maju dan bangsa Indonesia yang cerdas harus dari kaca mata pendidikan. Kecerdasan yang mampu mengawal itu meliputi kecerdasan spiritual,emosional dan intelegensia.Tidak dapat dilihat dari satu aspek saja.Perubahan perilaku adalah hasil dari pendidikan.
Kebudayaan itu mencerahkan
Sebuah kebudayaan akan mengawal fungsi luhur kemanusiaan.Budaya mampu mengolah rasa dan bathin , menjadi katarsis kehidupan.Ia menghadirkan pencerahan karena kebudayaan melewati proses jatuh bangun.Kebudayaan bukan sebuah komoditi yang bersifat komersial berbasiskan perhitungan untung rugi.Itulah mengapa banyak budayawan menolak ketika kebudayaan disatukan dalam satu atap bersama pariwisata berwujud Departemen Pariwisata Seni dan Budaya.
Mengelola kebudayaan sebagai bagian dari industri pariwisata menjadikan kebudayaan mandeg,berhenti karena pariwisata bertujuan menjaring dan mendatangkan orang untuk menikmati sebuah keorisionallitas sebuah kebudayaan.Padahal kebudayaan memiliki fitrah berkembang,dieksplorasi terus seiring peradaban manusia.Kebudayaan sebagai daya tarik sebuah industri pariwisata adalah pragmatisme dan akan menjadikan pemilik budaya itu gagal memperoleh pencerahan.Aneh juga jika zaman ini,misalnya,masih mengharapkan suku-suku di Papua harus tetap mengenakan koteka agar kelihatan primitif agar menarik minat turis yang berujung datangnya devisa dalam bentuk dolar.
Sebuah kebudayaan yang mampu memberi pencerahan jika ia bebas berkembang,tidak dipasung.Bayangkan saja jika kita mendengar gending Sinom Parijoto atau palaran, antara pesinden dan niyaganya tidak boleh ber-improvisasi lewat kata-kata saat nyenggaki suara sinden meski kadang terasa vulgar.Akan kering dan pendengar akan bosan.Kekeringan sebuah budaya harus dihindari.Menyaksikan tarian jaipong tanpa 3G yaitu goyang,geyol dan gitek terasa aneh.Tapi atas nama norma dan moral yang dibungkus lewat UU Anti Pornografi dan Pornoaksi 3 G ingin dihilangkan.Maka lahirlah perlawanan dari pelaku budaya.Mereka melawan aturan itu karena dalam kebudayaan peraturannya satu yaitu tidak ada peraturan.Semua mengalir alami.
Tidak melanggar pakem jika Ki Manteb Sudarsono atau Ki Enthus Susmono melakukan terobosan dalam pekeliran yang mereka mainkan.Kebudayaan akan ditinggalkan jika ia dibelenggu.Melarang penonton musik dangdut untuk bergoyang ibarat disuruh menggiring angin,mustahil.Dahulu semua dalang dan pelaku budaya dikumpulkan,diberi indoktrinasi oleh penguasa tentang apa itu budaya bangsa yang adi luhung.Yang timbul kemudian adalah hilangnya roh bangsa sebagai pemilik sah budaya itu.
Kita kadang kala lupa bahwa otak kita perlu dicharge lagi dengan produk bernama kebudayaan.Otak yang dicharge artinya diberi hidangan agar kembali segar.Pentas wayang orang,ketoprak,wayang kulit,musik dangdut,campursari yang serba gratis ditempat becek dengan sanal jepit,festival musik dengan tiket selangit,dari tempat mewah wangi dihadiri oleh penikmatnya dengan satu tujuan yaitu memberi energi baru bagi jiwa yang sudah kering.
Mampukan pendidikan dan kebudayaan mengawal sebuah bangsa (Indonesia) menjadi bangsa yang cerdas dan tercerahkan?.Bisa dan tidak.Saat pendidikan,kebudayaan tidak diberi cap apapun,hadir dengan ketelanjangannya maka ia akan terus dan bisa bertahan menjadi pengawal.Ketelanjangan sebuah pendidikan itu artinya biarkan pendidikan berjalan apa adanya.Tidak direcoki dengan kebijakan yang tidak perlu.Ia mampu tumbuh besar dan menjadi pengawal dengan menghilangkan niat membonsai ,memagari dengan aneka aturan.
Kebudayaan juga harus hadir dengan ketelanjangannya.Biarkan masyarakat yang menjadi pengawalnya.Tanpa direkayasa,tanpa didekte.Biarkan kebudayaan itu berkembang dan berubah seiring perubahan zaman.Jika sebuah perubahan sampai kesebuah suku yang paling terbelakang kehidupannya jangan dihalangi.Ia akan menemukan sebuah kebudayaan yang memberikan pencerahan.

S.E. Walikota bukan kitab suci

Dalam seminggu terakhir ini masyarakat Surakarta dibuat reasah dengan terbitnya Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang merupakan revisi atau ralat atas Surat Edaran Walikota No.422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008.Tetapi Walikota membantah SE itu sebagai ralat tetapi sebagai respon atas PP No.48 yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.(SOLOPOS,13/5/2009).Normal saja.Dalam kalimat yang sedikit filosofis ada ungkapan bahwa yang tidak berubah di dunia adalah perubahan itu sendiri.Dan Surat Edaran Walikota bukan kitab suci yang tidak boleh diubah.
Dalam kaidah Hukum Administrasi Negara tidak ada yang salah dengan kedua SE tersebut.Seorang pejabat negara berhak mencabut,mengubah dan atau membatalkan SK atau SE yang telah terbit.Maka selalu ada dictum dalam setiap SK/SE bahwa apabila dikemudian hari bila perlu akan diadakan revisi.Meskipun dua SE itu memiliki subtansi yang berbeda.
Jika ternyata SE yang terakhir memancing reaksi negatif dari masyarakat sebagai sesuatu yang lumrah.Begitu juga dengan reaksi anggota Dewan juga hal yang jamak.Kalau anggota Dewan tidak memberi reaksi malah aneh karena mereka anggota parlemen harus bicara.Parle artinya bicara.Hanya saja kalimat yang mereka sangat sarkatis misalnya walikota plin plan.Secara etika tidak patut karena kalimat verbal mereka dikutip oleh media dan menjadi santapan semua kalangan.
Saya dapat membayangkan bagaimana suasana hati Walikota saat menandatangani SE tersebut.Pasti galau, bergejolak membayangkan resiko dan reaksi negative masyarakatnya.Namun sebagai pemimpin keputusan harus tetap diambil meskipun tidak populer dan apapun resikonya.Meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla,kalau tidak mau mengambil dan menghadapi resiko jangan jadi pemimpin.
Ijinkan saya untuk kasus ini berfihak kepada Walikota,dan kepada pembaca jangan lantas menyebut saya sebagai humas Pak Wali.Jangan membuat dikotomi bahwa Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 sebagai pro rakyat dan Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 sebagai anti rakyat.Saya berpendapat lain yaitu bahwa Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 pro orang kaya dan Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 pro kesetaraan.
Permasalahan yang mendasar adalah kurangnya sosialisasi oleh pihak Pemerintah Kota terhadap masyarakat.Dengan sosialisasi masyarakat akan mengetahui latar belakang sebuah kebijakan,dan pemerintah dapat menangkap suasana bathin rakyatnya.Spirit dari kedua SE itu adalah demi kemajuan pendidikan di kota Solo.
Saya termasuk yang percaya bahwa pendidikan adalah sebuah investasi yang mahal.Jer basuki mawa bea.Jadi aneh kalau hendak basuki tetapi tidak mau keluar bea.Maka saya tidak percaya dengan pendidikan gratis.Pendidikan gratis hanyalah mimpi.(Rumongso,SOLOPOS 2/5/2009).Sebagai sebuah investasi maka ia memerlukan pendanaan yang mahal.Namun pendidikan adalah investasi yang BEP/Break Event Point-nya sangat lama yaitu satu generasi.BEP pendidikan adalah lahirnya generasi terdidik yang memiliki kualitas tinggi dan mampu bersaing menghadapi tuntutan zaman.Dari generasi yang berkualitas itulah masa depan negeri kita titipkan.
Ketika reaksi menolak berdatangan kita bisa memaklumi.Di tengah situasi ekonomi yang suram,daya beli masyarakat yang turun,PHK juga marak merupakan momentum yang kurang tepat.Mereka yang bersuara menolak memiliki argument.Tetapi jika disaring semua pendapat itu mengerucut pada reaksi sesaat yaitu melihat permasalahan dari kaca mata sekarang.Jika kita memiliki visi ke depan akan sebuah dunia sebuah pendidikan yang maju tentu reaksinya akan berbeda.
Menghakimi Walikota tidak perlu.Ia memang bukan fihak yang paling tahu akan segala permasalahan rakyatnya.Tetapi ia yang bertanggung jawab terhadap masa depan rakyatnya.Saat mengeluarkan Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 spirit yang ada yaitu memberikan akses seluas-luasnya kepada warga kota akan kebutuhan pendidikan.Maka ia melarang sekolah untuk memungut uang dalam bentuk apapun dari orang tua siswa.Ini tidak adil karena menyeragamkan semua strata ekonomi rakyat.Yang paling diuntungkan adalah orang kaya dan mampu secara ekonomi.Mereka inilah yang paling keras bersuara memprotes dengan mengatasnamakan rakyat miskin.
Adil itu tidak harus sama.Menyamakan antara orang miskin yang jelas-jelas tidak mampu membayar uang sekolah dengan mereka yang memiliki kemampuan jelas tidak adil.Yang pertama sulit untuk mendapatkan Rp 10.000,00 sedangkan golongan kedua sangat mudah membuang Rp 10.000,00.Mengapa disamakan?.
Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang memberi wewenang kepada fihak sekolah untuk memungut uang dari orang tua siswa dengan pengecualian bagi keluarga yang tidak mampu mengandung spirit kesetaraan.Sangat naïf jika ini dinilai tidak pro rakyat.Biarkan yang kaya mengeluarkan uang untuk mensubsidi kalangan yang kurang mampu karena dalam prakteknya banyak masyarakat yang memiliki semangat menyantuni.
Sekarang bola ada di tangan sekolah.Ketika Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 menghadirkan ketidakpastian maka kepastian ditengah ketidak pastian itu hilang dengan terbitnya Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009.Mampukan fihak sekolah negeri mengimplementasikan kebijakan itu secara tepat menyasar sebagaiamana diamanatkan.
Masyarakat banyak yang harus mengawal menejemen sekolah yaitu Kepala Sekolah,Wakil Kepala Sekolah dan guru ditambah Komite Sekolah.Titik rawan setiap kebijakan adalah dalam tataran implementasi di lapangan.
Mengawal apakah memang yang memperoleh pengecualian pembebasan uang pungutan itu memang dari kalangan mereka yang tidak mampu atau tidak?.Jika ternyata dalam praksis lapangan banyak kalangan mampu yang seharusnya tidak berhak namun karena kedekatanya dengan kelangan pengambil keputusan justru mendapat pembebasan,maka menjadi tugas kita bersama untuk ramai-ramai memprotesnya.
Bagaimana dengan penggunaan uang pungutan dari orang tua?.Inilah titik rawan kedua.Dalam birokrasi Indonesia hal yang paling mahal dan sulit ditemukan adalah accountability alias pertanggungjawaban.Saya yakin banyak uang yang masuk ke sekolah.Jika tidak ada pengawasan maka potensi akan penyelewengan itu sangat besar.Kata pepatah Jawa:melik nggendong lali artinya keinginan akan mengakibatkan lupa. Penyelewengan yang sistemik karena melibatkan berbagai fihak.Kemana uang pungutan itu digunakan dan diperuntukan harus jelas.Menghindarkan praktek mark up atas belanja dan anggaran fiktif yang mamakai uang pungutan siswa juga harus menjadi kemauan bersama jika semangat SE Walikota tepat sasaran dan dunia pendidikan lepas dari praktek korup.
Kalau ada hal yang membuat saya skeptis akan implementasi dari Surat Edaran Walikota No.422.1/875 adalah apakah Bawasda mau dan mampu mengawasi secara aktif kepada aparatur di lembaga pendidikan negeri?.Apakah Bawasda akan bertindak sigap menindaklanjuti setiap laporan masyarakat akan dugaan penyelewengan kebijakan dan anggaran?. Jika ternyata Bawasda tumpul dalam mangambil tindakan penyelewengan maka SE Walikota No.422.1/875 hanya macan kertas.

Caleg stress siapa peduli?.

Tidak ada peristiwa yang mampu mengharu biru suasana hati dan batin masyarakat selain peristiwa pemilihan umum yang akan memilih anggota legislatif dan puncaknya pemilihan presiden.Kehadirannya ditunggu,namun saat datang membuat jengkel.Dari suasana kampanye riuh redam,bising dan membuat hukum tak berlaku,sampai suasana saling curiga antar warga.
Saat tahapan pemilu dimulai,publik sudah diteror secara visual berupa gambar – gambar penuh senyum simpatik yang secara ironis disertai kata-kata menghamba yaitu mohon doa restu,pilihlah saya.Atau kalimat jumawa semisal siap mengabdi untuk rakyat,membela wong cilik.Biasanya semakin gurem sebuah partai,semakin bombastis kalimat yang di bawa.Karena sedari awal sudah yakin tak bakal terpilih.Menjadi politisi dengan modal janji.
Gambar dan kalimat yang menteror itu laksana hantu yang membuat bulu kuduk merinding.Tetapi dengan seketika alam bawah sadar kita dituntun untuk melenyapkan hantu itu agar pergi dan tidak melakukan lagi kegiatan meneror.Maka timbullah sikap vandalisme dengan mencoret-coret gambar atau merobek dan mencampakkan ke tempat sampah.
Publik yang tidak mengenal secara pribadi sang caleg lalu mengambil ancang-ancang.Secara verbal dengan mengatakan,”Emang gue pikirin!”.Secara aksional mereka bersumpah untuk tidak memilih mereka.Perlawanan ini dilakukan sebagai jawaban atas teror gambar wajah dan penggunaan kalimat-kalimat yang menyertainya.
Ketika pemilu berlalu,hasil sudah diketahui kekalahan sudah di depan pintu dan kemenangan sudah dalam genggaman maka fase kedua dari euphoria pemilu dimulai.Mereka yang menang tidak usah dibahas dalam tulisan ini.Karena sebagaimana kata Sir Alex Ferguson kepada para pemainnya,lupakan setiap kemenangan agar tidak terlena,sebab pertandinganbesar berikutnya siap menunggu.
Memahami sebuah kekalahan lebih sulit dari pada menerima kekalahan itu.Saat peluit akhir kompetisi ditiup mau tidak mau,siap tidak siap,bagi yang kalah maka kekalahan harus diterima.Meminta tanding ulang sia-sia.Yang sulit yaitu memahami arti kekalahan itu.Untuk faham atas kekalahan,maka semua rekaman peristiwa harus diputar ulang.Ketika ketemu apa tujuannya maka bukalah rekaman itu.Lihatlah apa niat awal mereka.Jika niatnya adalah demi syahwat kekuasaan maka kekalahan laksana pisau yang menyayat.
Ketika seorang caleg terjun ke dunia politik bukan atas dasar panggilan hati,maka kekalahan ibarat palu godam.Bayangan terlalu melambung tinggi.Menikmati prevelage,kekebalan hukum karena untuk dapat menyidik seorang anggota dewan harus seijin gubernur,mendagri bahkan presiden.Pokoknya serba indah,serba menyenangkan.
Pemahaman yang keliru atas kekalahan,katakanlah dalam sebuah kompetisi seketat pemilihan umum di Indonesia yang konon jumlah calegnya sampai angka 1,5 juta dalam berbagai tingkatan,sangat sulit karena ongkos politik yang terlanjur mereka investasikan sangat besar.Mereka siap menang tapi tidak siap kalah.
Ketika malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih,maka politisi itu mengalami frustasi.Malu karena gagal,investasi melayang sia-sia karena bayangan akan nikmatnya kursi kekuasaan pupus.Ujung-ujungnya depresi.Caleg yang sampai pada taraf depresi-frustasi inilah yang saat awal memasuki ranah politik hanya berfikir betapa enaknya menjadi politisi.
Seorang sahabat,yang maju menjadi caleg DPRD Kota bahkan sudah berandai-andai tentang hal apa yang akan ia lakukan terkait dengan sebuah masalah yang menyita pehatian khalayak ramai.Penulis yang kebetulan pendidik berkesimpulan terhadap analisisnya manarik kesimpulan bahwa ia mengalami kepribadian yang terbelah,split personality.Ibarat cicak hendak menelan kaleng,brisik tapi tak akan mampu menelan.
Stres yang menghampiri caleg akan menambah sinisme masyarakat.Ketika pada awal mereka memperkenalkan diri dengan tujuan agar rakyat tahu dan berkenan memilih,masyarakat sudah apriori.Memang dia bisa apa?.Saat kampanye mereka hadir ibarat sinterklas membawa aneka macam bantuan baik yang natura maupun non nantura,rakyat tambah apriori.Wah nanti setelah jadi anggota dewan akan menjadi kapal keruk.Karena bantuan yang diberikan bukan atas dasar sikap filantrofis-berderma yang harus,sekali lagi harus dilandasi sikap tulus dan jauh dari sikap riya’.Ada pamrih agar mereka yang diberi bantuan akan memberikan suaranya kepada yang bersangkutan.
Caleg model ini rupanya tidak pernah membaca koran.Andai mereka membaca rubrik,katakanlah Kring Solopos,pasti tahu membaca arah angina karena masyarakat di akar rumput sudah kampanye gratis di rubrik tadi antara lain jangan pilih politisi yang gemar membagi uang,atau ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya.Kog nekat juga ya terserah.Akhirnya sebagaimana terjadi di beberapa daerah banyak caleg yang bertingkah aneh.Mengambil kembali semua bantuan yang telah mereka salurkan.Menutup pasar,memblokade jalan.
Memahami kekalahan,andaikan bisa,adalah satu tahap meraih sebuah kemenangan.Kekalahan atau bahkan kegagalan menghadirkan sikap keteladanan yang berasal dari dalam diri.Saat kegagalan tiba menyapa ia menjelma menjadi kawan sejati yang akan mengingatkan kita untuk melihat diri apa adanya.Kegagalan bukan hanya sukses yang tertunda sebagaimana kata pepatah lawas.Kegagalan juga merupakan kemenangan diri atas nafsu yang membelenggu.Ia mengingatkan kita.namun kita berlagak pilon tak mau mendengar,paling tahu.
Saat gambar diri di pasang disertai kata-kata bijak bestari dengan tujuan meng-kamuflase-kan diri,saat itu sebenarnya kegagalan sudah mendekat.Mereka,para caleg yang tidak bisa apa-apa datang lewat kata-kata seolah hendak menjelma menjadi pahlawan.Mereka yang memaksa diri untuk tersenyum manis agar yang memandang merasa nyaman tenteram hatinya telah menghina fitrah mereka.Senyum itu bahasa kalbu yang tak seorangpun atau tehnologi yang dapat merekayasa.Karena senyum para caleg itu menggoda,maka khalayak juga menggoda.Lantas timbulah vandalisme sebagaimana disinggung di awal tulisan ini.
Yang repot adalah stress yang diderita oleh caleg terpilih menjadi anggota dewan.Mereka inilah yang perlu diwaspadai setiap gerak langkahnya.Karena stress dan depresi yang menghampiri caleg terpilih,rakyat jua yang akan menanggung ongkos atau biaya untuk menyembuhkan.Memang tak harus masuk ke RSJ seperti mereka yang gagal.Implikasinya hanya pada tak adanya kesuaian antara kata dengan perbuatan.
Yang depresi karena gagal sebab memikirkan modal yang terbang dan tak dapat kembali.Padahal semua dibiayai dengan menjual asset.Yang depresi karena terpilih memikirkan bagaimana mengembalikan modal.Ongkos yang ditanggung rakyat sangat mahal.Mari menghitung a la Kwik Kian Gie!.
Rata-rata seorang caleg DPRD Kabupaten/Kota yang mengeluarkan modal Rp.400 juta.Biaya itu antara lain untuk sosialisasi,penggalangan massa dan uang untuk memelihara loyalitas massa.Karena sebagaimana banyak disingung dalam kajian perilaku pemilih di Indonesia mempunyai karakter yang cair,mengambang.Loyalitas ada jika ada uang yang masuk.Idiologi hanya di mulut bukan di hati.Dengan masa jabatan 5 tahun artinya mereka mendapat 60 X uang gaji.Istilah mereka uang kehormatan.
Rata-rata uang kehormatan yang mereka terima sebagaimana mengacu pada Permendagri maksimal 6 juta untuk anggota biasa dan 9 juta untuk unsur pimpinan. Jika 6 juta dikalikan 60 bulan maka anggota DPRD hanya memperoleh 360 Juta.Uang itu ada yang harus disisihkan untuk partai dan konstituen.Kalau di pusat masih untung karena ada hak pensiun.
Hukum ekonomi mana yang mampu menjelaskan tentang sebuah investasi yang siap rugi tetapi banyak diminati oleh setiap orang?.Jawabanya:jadilah anggota dewan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Basuki mantan ketua DPRD Kota Surabaya yang dipecat karena berkoar perihal cara mengisi periuk nasi anggota dewan.
Caleg stress baik yang terpilih atau gagal memang ibarat makan buah simalakama.Semua membuat bingung.Apapun yang mereka lakukan hanya akan menjadi beban.Yang depresi karena kalah menjadi beban,minimal beban keluarga yang bersangkutan.Yang depresi karena menang menjadi beban rakyat banyak,karena mereka akan mencari sumber apa saja yang mampu menutup investasi yang keluar.Tak usah dibahas.Nanti akan membuat merah telinga mereka.
Mengapa dapat terjadi depresi?.Politik tanpa rasio akan menjerumuskan.Politik tanpa etika ibarat koboi mabuk.Guru besar etika dari STF Driyarkara,Dr.Frans Magnis Suseno/Romo Magnis sampai harus menulis buku etika politik untuk memagari politisi agar tak menyimpang.Buya Syafi’i Ma’arif mewanti-wanti jangan terjun ke dunia politik jika tujuannya semata kenikmatan,tak dapat menyesuaikan antara laku dengan lakak.