Rabu, 15 Juli 2009

Memutus lingkaran setan kekerasan MOS

GAGASAN SOLOPOS,13 JULI 2009
Masa orientasi studi (MOS) di sekolah lanjutan, mulai digelar seiring dengan masuknya siswa baru. Tak jarang, pelaksanaan MOS diwarnai kekerasan. Kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan yang terjadi hingga kini adalah cermin bahwa ada yang salah dalam tata cara pengasuhan anak didik di sekolah dari SMP hingga perguruan tinggi.
Kekerasan itu ibarat lingkaran setan yang sulit diputus dan selalu datang merasuk ke relung jantung lembaga pendidikan. Kegiatan itu biasanya dilakukan oleh senior. Di bangku kuliah, yang melakukan kadang malah bermasalah dengan studinya. Julukan mereka Mapala: mahasiswa paling lama. Dari semuanya itu, intinya adalah perpeloncoan dari senior kepada junior. Melihat singkatannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.BullyingKesalahan pola pengasuhan dari sekolah dengan membiarkan setiap tindak kekerasan antara senior dan junior menjadikan tujuan baik kegiatan itu melenceng dari tujuan awal. Karena tiadanya kontrol ketat dari sekolah maka kegiatan itu berubah menjadi arena balas dendam. Pada galibnya, setiap tindak kekerasan akan melahirkan tindak kekerasan baru. Pembiaran itu berlangsung terus menerus tanpa ada niat untuk mengakhiri. Tidak ada yang baru dalam kegiatan orientasi studi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Junior didandani sejelek mungkin. Si senior berteriak sekencang mungkin dengan mata melotot galak melebihi penggambaran ibu tiri dalam sinetron kita. Aktivitas hanya sebatas menyanyi dan menari. Pokoknya semakin aneh semakin asyik dan menyenangkan buat mereka yang terlibat. Junior yang melanggar aturan atau tidak hormat kepada senior, akan kena hukuman dari yang paling ringan seperti menari hingga yang bersifat fisik berat seperti push up dan berlari. Ada tindakan yang menghina dan melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan secara sistematis dalam kegiatan itu.Lembaga pendidikan gagal menjadikan dirinya sebagai pusat keunggulan, pusat transfer ilmu pengetahuan dan agen perubahan. Padahal lembaga pendidikan adalah tempat menyemai benih-benih intelektualitas yang lebih mengutamakan olah pikir, mengasah daya nalar bukan dengan mengedepankan kekerasan. Celakanya, siswa atau mahasiswa disuruh mewarisi perilaku primitif itu dan bahkan berusaha untuk melestarikannya. Sikap antisosial yang tercermin dari kegiatan perpeloncoan di lembaga pendidikan menurut psikiater Limas Sutanto adalah ajang proyeksi impuls-impuls agresi, kekerasan, balas dendam, kebutuhan untuk menguasai, dan kebutuhan untuk disanjung yang bersarang di dalam jiwa sebagian murid senior dan sebagian pendidik (Kompas, 21/7/2003). Artinya ada proses premanisasi/bullying dalam masa orientasi siswa baru. Sampai separah itukah anak-anak kita yang masih berseragam SMP/SMA? Jika benar maka hanya satu hal yang bisa kita lakukan yaitu menghilangkan secara total segala bentuk kegiatan untuk penyambutan siswa baru apapun nama dan bentuknya. Meskipun pada 1997, sudah ada larangan dari pemerintah, namun larangan itu tidak berpengaruh karena tidak ada sanksi jelas kepada para pelanggarnya.Apakah ada yang lebih penting yang harus dilakukan oleh senior kepada junior saat hendak memperkenalkan Wawasan Wiyatamandala dari sekedar memelonco? Ada, yaitu berlaku penuh kesantunan kepada orang lain, terutama kepada yang lebih kecil dan lebih lemah daripada kita, dan bersungguh-sungguh untuk menjadikan keberadaan kita sebagai pengindah kehidupan orang lain. Kemarahan maupun balas dendam bukanlah sebuah jawaban yang utama jika kita ingin dihargai dan dipandang ada oleh orang lain. Pada perspektif realistis, kita tidak akan pernah melihat sekolah memiliki waktu yang tersisa untuk diisi dengan acara yang hanya merangkum ingar-bingar proyeksi jiwa nan tertekan dalam manifestasi bentak-membentak, hardik-menghardik, memberikan serbaneka tugas tetek bengek yang tidak relevan dengan tugas pokok merealisasikan pengalaman belajar dan pendidikan yang benar, baik dan bermakna untuk setiap muridnya (Limas Sutanto, 2003).Mata yang melotot tajam bukan apa-apa, lengkingan suara kemarahan senior saat masa orientasi studi adalah ciri dari sikap bebal. Mengapa? Mereka tidak memiliki apa-apa selain melotot dan berteriak membentak. Itulah kebanggaan mereka. Jadi, pandanglah mereka yang melotot dan berteriak itu dengan sikap hina agar tidak ikut mengulang di kemudian hari kepada yang lain. Perilaku itu menghina sisi mulia sebuah makhluk bernama manusia.Melatih kecerdasanKembalikan lembaga pendidikan sebagai tempat untuk mengasah kepekaan emosi dan empati. Lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan adalah tempat menyemai generasi yang mengutamakan pendekatan akal, nalar. Ketika kekerasan yang diutamakan untuk meraih sebuah simpati dari orang lain (junior) maka esensi pendidikan orientasi akan hilang. Proses perpeloncoan adalah kegiatan yang menghilangkan akal sehat. Jika masa orientasi adalah masa untuk menuntun maka mengapa tidak dilakukan dalam bentuk kegiatan yang bersifat ilmiah? Semestinya lewat MOS, junior mendapatkan pengalaman belajar dan pendidikan pertama di sekolah baru mereka secara baik, benar dan bermakna.Jika tujuan masa orientasi itu untuk menuntun, membimbing junior oleh senior mengenai kehidupan bersekolah yang baru, masih banyak hal yang dapat dilakukan. Bakti sosial ke rumah yatim piatu, ke sasana wreda adalah kegiatan yang mampu mengasah kepekaan. Bisa pula berupa mencabut paku yang menempel di pohon karena perilaku kurang ajar kaki tangan para Caleg dan Capres saat Pemilu. Atau dalam bentuk karya ilmiah yang mengasah inteligensia. Semua itu mudah, sederhana, jauh dari unsur kekerasan dan memberi dampak langsung. - Oleh : Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar