Kamis, 04 Juni 2009

Caleg stress siapa peduli?.

Tidak ada peristiwa yang mampu mengharu biru suasana hati dan batin masyarakat selain peristiwa pemilihan umum yang akan memilih anggota legislatif dan puncaknya pemilihan presiden.Kehadirannya ditunggu,namun saat datang membuat jengkel.Dari suasana kampanye riuh redam,bising dan membuat hukum tak berlaku,sampai suasana saling curiga antar warga.
Saat tahapan pemilu dimulai,publik sudah diteror secara visual berupa gambar – gambar penuh senyum simpatik yang secara ironis disertai kata-kata menghamba yaitu mohon doa restu,pilihlah saya.Atau kalimat jumawa semisal siap mengabdi untuk rakyat,membela wong cilik.Biasanya semakin gurem sebuah partai,semakin bombastis kalimat yang di bawa.Karena sedari awal sudah yakin tak bakal terpilih.Menjadi politisi dengan modal janji.
Gambar dan kalimat yang menteror itu laksana hantu yang membuat bulu kuduk merinding.Tetapi dengan seketika alam bawah sadar kita dituntun untuk melenyapkan hantu itu agar pergi dan tidak melakukan lagi kegiatan meneror.Maka timbullah sikap vandalisme dengan mencoret-coret gambar atau merobek dan mencampakkan ke tempat sampah.
Publik yang tidak mengenal secara pribadi sang caleg lalu mengambil ancang-ancang.Secara verbal dengan mengatakan,”Emang gue pikirin!”.Secara aksional mereka bersumpah untuk tidak memilih mereka.Perlawanan ini dilakukan sebagai jawaban atas teror gambar wajah dan penggunaan kalimat-kalimat yang menyertainya.
Ketika pemilu berlalu,hasil sudah diketahui kekalahan sudah di depan pintu dan kemenangan sudah dalam genggaman maka fase kedua dari euphoria pemilu dimulai.Mereka yang menang tidak usah dibahas dalam tulisan ini.Karena sebagaimana kata Sir Alex Ferguson kepada para pemainnya,lupakan setiap kemenangan agar tidak terlena,sebab pertandinganbesar berikutnya siap menunggu.
Memahami sebuah kekalahan lebih sulit dari pada menerima kekalahan itu.Saat peluit akhir kompetisi ditiup mau tidak mau,siap tidak siap,bagi yang kalah maka kekalahan harus diterima.Meminta tanding ulang sia-sia.Yang sulit yaitu memahami arti kekalahan itu.Untuk faham atas kekalahan,maka semua rekaman peristiwa harus diputar ulang.Ketika ketemu apa tujuannya maka bukalah rekaman itu.Lihatlah apa niat awal mereka.Jika niatnya adalah demi syahwat kekuasaan maka kekalahan laksana pisau yang menyayat.
Ketika seorang caleg terjun ke dunia politik bukan atas dasar panggilan hati,maka kekalahan ibarat palu godam.Bayangan terlalu melambung tinggi.Menikmati prevelage,kekebalan hukum karena untuk dapat menyidik seorang anggota dewan harus seijin gubernur,mendagri bahkan presiden.Pokoknya serba indah,serba menyenangkan.
Pemahaman yang keliru atas kekalahan,katakanlah dalam sebuah kompetisi seketat pemilihan umum di Indonesia yang konon jumlah calegnya sampai angka 1,5 juta dalam berbagai tingkatan,sangat sulit karena ongkos politik yang terlanjur mereka investasikan sangat besar.Mereka siap menang tapi tidak siap kalah.
Ketika malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih,maka politisi itu mengalami frustasi.Malu karena gagal,investasi melayang sia-sia karena bayangan akan nikmatnya kursi kekuasaan pupus.Ujung-ujungnya depresi.Caleg yang sampai pada taraf depresi-frustasi inilah yang saat awal memasuki ranah politik hanya berfikir betapa enaknya menjadi politisi.
Seorang sahabat,yang maju menjadi caleg DPRD Kota bahkan sudah berandai-andai tentang hal apa yang akan ia lakukan terkait dengan sebuah masalah yang menyita pehatian khalayak ramai.Penulis yang kebetulan pendidik berkesimpulan terhadap analisisnya manarik kesimpulan bahwa ia mengalami kepribadian yang terbelah,split personality.Ibarat cicak hendak menelan kaleng,brisik tapi tak akan mampu menelan.
Stres yang menghampiri caleg akan menambah sinisme masyarakat.Ketika pada awal mereka memperkenalkan diri dengan tujuan agar rakyat tahu dan berkenan memilih,masyarakat sudah apriori.Memang dia bisa apa?.Saat kampanye mereka hadir ibarat sinterklas membawa aneka macam bantuan baik yang natura maupun non nantura,rakyat tambah apriori.Wah nanti setelah jadi anggota dewan akan menjadi kapal keruk.Karena bantuan yang diberikan bukan atas dasar sikap filantrofis-berderma yang harus,sekali lagi harus dilandasi sikap tulus dan jauh dari sikap riya’.Ada pamrih agar mereka yang diberi bantuan akan memberikan suaranya kepada yang bersangkutan.
Caleg model ini rupanya tidak pernah membaca koran.Andai mereka membaca rubrik,katakanlah Kring Solopos,pasti tahu membaca arah angina karena masyarakat di akar rumput sudah kampanye gratis di rubrik tadi antara lain jangan pilih politisi yang gemar membagi uang,atau ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya.Kog nekat juga ya terserah.Akhirnya sebagaimana terjadi di beberapa daerah banyak caleg yang bertingkah aneh.Mengambil kembali semua bantuan yang telah mereka salurkan.Menutup pasar,memblokade jalan.
Memahami kekalahan,andaikan bisa,adalah satu tahap meraih sebuah kemenangan.Kekalahan atau bahkan kegagalan menghadirkan sikap keteladanan yang berasal dari dalam diri.Saat kegagalan tiba menyapa ia menjelma menjadi kawan sejati yang akan mengingatkan kita untuk melihat diri apa adanya.Kegagalan bukan hanya sukses yang tertunda sebagaimana kata pepatah lawas.Kegagalan juga merupakan kemenangan diri atas nafsu yang membelenggu.Ia mengingatkan kita.namun kita berlagak pilon tak mau mendengar,paling tahu.
Saat gambar diri di pasang disertai kata-kata bijak bestari dengan tujuan meng-kamuflase-kan diri,saat itu sebenarnya kegagalan sudah mendekat.Mereka,para caleg yang tidak bisa apa-apa datang lewat kata-kata seolah hendak menjelma menjadi pahlawan.Mereka yang memaksa diri untuk tersenyum manis agar yang memandang merasa nyaman tenteram hatinya telah menghina fitrah mereka.Senyum itu bahasa kalbu yang tak seorangpun atau tehnologi yang dapat merekayasa.Karena senyum para caleg itu menggoda,maka khalayak juga menggoda.Lantas timbulah vandalisme sebagaimana disinggung di awal tulisan ini.
Yang repot adalah stress yang diderita oleh caleg terpilih menjadi anggota dewan.Mereka inilah yang perlu diwaspadai setiap gerak langkahnya.Karena stress dan depresi yang menghampiri caleg terpilih,rakyat jua yang akan menanggung ongkos atau biaya untuk menyembuhkan.Memang tak harus masuk ke RSJ seperti mereka yang gagal.Implikasinya hanya pada tak adanya kesuaian antara kata dengan perbuatan.
Yang depresi karena gagal sebab memikirkan modal yang terbang dan tak dapat kembali.Padahal semua dibiayai dengan menjual asset.Yang depresi karena terpilih memikirkan bagaimana mengembalikan modal.Ongkos yang ditanggung rakyat sangat mahal.Mari menghitung a la Kwik Kian Gie!.
Rata-rata seorang caleg DPRD Kabupaten/Kota yang mengeluarkan modal Rp.400 juta.Biaya itu antara lain untuk sosialisasi,penggalangan massa dan uang untuk memelihara loyalitas massa.Karena sebagaimana banyak disingung dalam kajian perilaku pemilih di Indonesia mempunyai karakter yang cair,mengambang.Loyalitas ada jika ada uang yang masuk.Idiologi hanya di mulut bukan di hati.Dengan masa jabatan 5 tahun artinya mereka mendapat 60 X uang gaji.Istilah mereka uang kehormatan.
Rata-rata uang kehormatan yang mereka terima sebagaimana mengacu pada Permendagri maksimal 6 juta untuk anggota biasa dan 9 juta untuk unsur pimpinan. Jika 6 juta dikalikan 60 bulan maka anggota DPRD hanya memperoleh 360 Juta.Uang itu ada yang harus disisihkan untuk partai dan konstituen.Kalau di pusat masih untung karena ada hak pensiun.
Hukum ekonomi mana yang mampu menjelaskan tentang sebuah investasi yang siap rugi tetapi banyak diminati oleh setiap orang?.Jawabanya:jadilah anggota dewan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Basuki mantan ketua DPRD Kota Surabaya yang dipecat karena berkoar perihal cara mengisi periuk nasi anggota dewan.
Caleg stress baik yang terpilih atau gagal memang ibarat makan buah simalakama.Semua membuat bingung.Apapun yang mereka lakukan hanya akan menjadi beban.Yang depresi karena kalah menjadi beban,minimal beban keluarga yang bersangkutan.Yang depresi karena menang menjadi beban rakyat banyak,karena mereka akan mencari sumber apa saja yang mampu menutup investasi yang keluar.Tak usah dibahas.Nanti akan membuat merah telinga mereka.
Mengapa dapat terjadi depresi?.Politik tanpa rasio akan menjerumuskan.Politik tanpa etika ibarat koboi mabuk.Guru besar etika dari STF Driyarkara,Dr.Frans Magnis Suseno/Romo Magnis sampai harus menulis buku etika politik untuk memagari politisi agar tak menyimpang.Buya Syafi’i Ma’arif mewanti-wanti jangan terjun ke dunia politik jika tujuannya semata kenikmatan,tak dapat menyesuaikan antara laku dengan lakak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar