Kamis, 04 Juni 2009

S.E. Walikota bukan kitab suci

Dalam seminggu terakhir ini masyarakat Surakarta dibuat reasah dengan terbitnya Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang merupakan revisi atau ralat atas Surat Edaran Walikota No.422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008.Tetapi Walikota membantah SE itu sebagai ralat tetapi sebagai respon atas PP No.48 yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.(SOLOPOS,13/5/2009).Normal saja.Dalam kalimat yang sedikit filosofis ada ungkapan bahwa yang tidak berubah di dunia adalah perubahan itu sendiri.Dan Surat Edaran Walikota bukan kitab suci yang tidak boleh diubah.
Dalam kaidah Hukum Administrasi Negara tidak ada yang salah dengan kedua SE tersebut.Seorang pejabat negara berhak mencabut,mengubah dan atau membatalkan SK atau SE yang telah terbit.Maka selalu ada dictum dalam setiap SK/SE bahwa apabila dikemudian hari bila perlu akan diadakan revisi.Meskipun dua SE itu memiliki subtansi yang berbeda.
Jika ternyata SE yang terakhir memancing reaksi negatif dari masyarakat sebagai sesuatu yang lumrah.Begitu juga dengan reaksi anggota Dewan juga hal yang jamak.Kalau anggota Dewan tidak memberi reaksi malah aneh karena mereka anggota parlemen harus bicara.Parle artinya bicara.Hanya saja kalimat yang mereka sangat sarkatis misalnya walikota plin plan.Secara etika tidak patut karena kalimat verbal mereka dikutip oleh media dan menjadi santapan semua kalangan.
Saya dapat membayangkan bagaimana suasana hati Walikota saat menandatangani SE tersebut.Pasti galau, bergejolak membayangkan resiko dan reaksi negative masyarakatnya.Namun sebagai pemimpin keputusan harus tetap diambil meskipun tidak populer dan apapun resikonya.Meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla,kalau tidak mau mengambil dan menghadapi resiko jangan jadi pemimpin.
Ijinkan saya untuk kasus ini berfihak kepada Walikota,dan kepada pembaca jangan lantas menyebut saya sebagai humas Pak Wali.Jangan membuat dikotomi bahwa Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 sebagai pro rakyat dan Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 sebagai anti rakyat.Saya berpendapat lain yaitu bahwa Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 pro orang kaya dan Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 pro kesetaraan.
Permasalahan yang mendasar adalah kurangnya sosialisasi oleh pihak Pemerintah Kota terhadap masyarakat.Dengan sosialisasi masyarakat akan mengetahui latar belakang sebuah kebijakan,dan pemerintah dapat menangkap suasana bathin rakyatnya.Spirit dari kedua SE itu adalah demi kemajuan pendidikan di kota Solo.
Saya termasuk yang percaya bahwa pendidikan adalah sebuah investasi yang mahal.Jer basuki mawa bea.Jadi aneh kalau hendak basuki tetapi tidak mau keluar bea.Maka saya tidak percaya dengan pendidikan gratis.Pendidikan gratis hanyalah mimpi.(Rumongso,SOLOPOS 2/5/2009).Sebagai sebuah investasi maka ia memerlukan pendanaan yang mahal.Namun pendidikan adalah investasi yang BEP/Break Event Point-nya sangat lama yaitu satu generasi.BEP pendidikan adalah lahirnya generasi terdidik yang memiliki kualitas tinggi dan mampu bersaing menghadapi tuntutan zaman.Dari generasi yang berkualitas itulah masa depan negeri kita titipkan.
Ketika reaksi menolak berdatangan kita bisa memaklumi.Di tengah situasi ekonomi yang suram,daya beli masyarakat yang turun,PHK juga marak merupakan momentum yang kurang tepat.Mereka yang bersuara menolak memiliki argument.Tetapi jika disaring semua pendapat itu mengerucut pada reaksi sesaat yaitu melihat permasalahan dari kaca mata sekarang.Jika kita memiliki visi ke depan akan sebuah dunia sebuah pendidikan yang maju tentu reaksinya akan berbeda.
Menghakimi Walikota tidak perlu.Ia memang bukan fihak yang paling tahu akan segala permasalahan rakyatnya.Tetapi ia yang bertanggung jawab terhadap masa depan rakyatnya.Saat mengeluarkan Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 spirit yang ada yaitu memberikan akses seluas-luasnya kepada warga kota akan kebutuhan pendidikan.Maka ia melarang sekolah untuk memungut uang dalam bentuk apapun dari orang tua siswa.Ini tidak adil karena menyeragamkan semua strata ekonomi rakyat.Yang paling diuntungkan adalah orang kaya dan mampu secara ekonomi.Mereka inilah yang paling keras bersuara memprotes dengan mengatasnamakan rakyat miskin.
Adil itu tidak harus sama.Menyamakan antara orang miskin yang jelas-jelas tidak mampu membayar uang sekolah dengan mereka yang memiliki kemampuan jelas tidak adil.Yang pertama sulit untuk mendapatkan Rp 10.000,00 sedangkan golongan kedua sangat mudah membuang Rp 10.000,00.Mengapa disamakan?.
Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang memberi wewenang kepada fihak sekolah untuk memungut uang dari orang tua siswa dengan pengecualian bagi keluarga yang tidak mampu mengandung spirit kesetaraan.Sangat naïf jika ini dinilai tidak pro rakyat.Biarkan yang kaya mengeluarkan uang untuk mensubsidi kalangan yang kurang mampu karena dalam prakteknya banyak masyarakat yang memiliki semangat menyantuni.
Sekarang bola ada di tangan sekolah.Ketika Surat Edaran No .422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008 menghadirkan ketidakpastian maka kepastian ditengah ketidak pastian itu hilang dengan terbitnya Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009.Mampukan fihak sekolah negeri mengimplementasikan kebijakan itu secara tepat menyasar sebagaiamana diamanatkan.
Masyarakat banyak yang harus mengawal menejemen sekolah yaitu Kepala Sekolah,Wakil Kepala Sekolah dan guru ditambah Komite Sekolah.Titik rawan setiap kebijakan adalah dalam tataran implementasi di lapangan.
Mengawal apakah memang yang memperoleh pengecualian pembebasan uang pungutan itu memang dari kalangan mereka yang tidak mampu atau tidak?.Jika ternyata dalam praksis lapangan banyak kalangan mampu yang seharusnya tidak berhak namun karena kedekatanya dengan kelangan pengambil keputusan justru mendapat pembebasan,maka menjadi tugas kita bersama untuk ramai-ramai memprotesnya.
Bagaimana dengan penggunaan uang pungutan dari orang tua?.Inilah titik rawan kedua.Dalam birokrasi Indonesia hal yang paling mahal dan sulit ditemukan adalah accountability alias pertanggungjawaban.Saya yakin banyak uang yang masuk ke sekolah.Jika tidak ada pengawasan maka potensi akan penyelewengan itu sangat besar.Kata pepatah Jawa:melik nggendong lali artinya keinginan akan mengakibatkan lupa. Penyelewengan yang sistemik karena melibatkan berbagai fihak.Kemana uang pungutan itu digunakan dan diperuntukan harus jelas.Menghindarkan praktek mark up atas belanja dan anggaran fiktif yang mamakai uang pungutan siswa juga harus menjadi kemauan bersama jika semangat SE Walikota tepat sasaran dan dunia pendidikan lepas dari praktek korup.
Kalau ada hal yang membuat saya skeptis akan implementasi dari Surat Edaran Walikota No.422.1/875 adalah apakah Bawasda mau dan mampu mengawasi secara aktif kepada aparatur di lembaga pendidikan negeri?.Apakah Bawasda akan bertindak sigap menindaklanjuti setiap laporan masyarakat akan dugaan penyelewengan kebijakan dan anggaran?. Jika ternyata Bawasda tumpul dalam mangambil tindakan penyelewengan maka SE Walikota No.422.1/875 hanya macan kertas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar