Senin, 23 Agustus 2010

ANDA TIDAK SENDIRIAN

Setiap bulan Mei,ingatan kolektif bangsa Indonesia tertuju pada salah satu peristiwa hitam dalam lembaran sejarah Indonesia yaitu kerusuhan Mei 1998 yang memicu gerakan reformasi yang berujung pada kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto.Banyak kalangan menyimpulkan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh sikap anti etnis China yang ditimbulkan oleh kesenjangan sosial antara warga pribumi asli yang rata-rata miskin dengan warga keturunan China yang umumnya kaya.
Tulisan Budayawan Indonesia di Harian Kompas berjudul Minoritas tanggal 15 Mei 2010 yang mungkin untuk mengingat peristiwa bulan Mei , menohok kesadaran kita-kita yang mengklaim diri sebagai orang pribumi asli,sebagai lawan kata WNI Keturunan yang kental asosiasinya kepada etnis China.Pak Jaya mengintro,tulisannya lewat Tokoh Gus Dur yang wafat 30 Desember 2009 yang lalu yang selama hidupnya diisi dengan perjuangan menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan sekat-sekat primodial.Kita malu dengan sejarah bangsa sendiri yang salah satu bab ditulis dengan darah dan air mata anak bangsanya.
Tulisan Jaya Suprana tersebut santa menyentuh,sebab beliau yang merasakan sendiri,bukan kata si A atau si B.Ada pendapat yang berbunyi jika ingin merasakan betapa indahnya damai,maka tanyakanlah kepada mereka yang berada di daerah perang.Jika ingin merasakan sakitnya didiskriminasi,tanyakanlah kepada orang yang mengalaminya sendiri yaitu kalangan suku (kata Pak Jaya Suprana) minoritas Tionghoa di Indonesia.
Pak Jaya Suprana tidak bermaksud menghiba jika menulis perlakuan yang tidak adil yang dialami baik oleh Pak Jaya sendiri maupun etnis Tionghoa yang lain.Juga tidak bermaksud umuk,sombong bahwa mereka kalangan etnis Tionghoa dan juga Pak Jaya merasa lebih Indonesia jika dibandingkan dengan orang asli Indonesia yang berkulit sawo matang bermata lebar,bukan berkulit kuning langsat bermata sipit.Ini kenyataan yang benar terjadi,bahwa atas nama orisionalitas asal usul negara secara sengaja membenturkan anak bangsa sendiri bernama Etnis Tionghoa kepada tembok kegelapan.
Saya mengamini 99% apa yang dikatakan oleh Pak Jaya perihal kejawaan dan keindonesiaannya yang melebihi kejawaan dan keindonesiaan orang Indonesia asli. Yang 1 % tidak, sebab nanti menjadi sepurna 100%,padahal kesempurnaan itu Pak Jaya,hanya milik Tuhan Yang Maha Esa,Allah SWT.Dengan tidak lengkap 100 % itulah hakekat sebenarnya kemanusiaan itu yakni serba kurang,serba tidak sempurna. Namun sikap kritisdan jujur harus tetap dikeluarkan agar kita semua dapat mengambil inti sari dari kejadian ini dan mampu membawa kita menjadi bangsa berjiwa besar yang tidak hanya menelisik bangsanya sendiri dengan sikap curiga.
Tidak semua etnis Tionghoa berfikir dan bersikap linier seperti Pak Jaya Suprana,Kwik Kian Gie,Christianto Wibisono,mendiang Yap Thiam Hiem atau Soe Hok Gie yang mencintai Indonesia tidak hanya terucap di bibir saja.Atau yang tidak terkenal misalnya Pak Jam Joe seorang pedagang hasil bumi di desa Kelet Kecamatan Keling Kabupaten Jepara Jawa Tengah yang di dalam darahnya jika tergores akan keluar warna merah putih. Jika rata-rata etnis Tionghoa berfikir seperti mereka yang saya sebutkan tadi alangkah beruntungnya Indonesia ini.Sebab keindonesiaan mereka melebihi keindonesiaan orang Indonesia yang menyebut diri sebagai orang asli Indonesia.Pak Jam Joe lebih suka nonton wayang kulit dengan Ki Dalang Toyo (almarhum) mantan kepala desa Dukukseti Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan lakon Semar mBangun Kayangan dari pada nonton film silat Manadarin.Bahasa Jawa yang dia gunakan halus,andhap asor meskipun terhadap kuli bongkar muat di kiosnya bernama Pak Wagiman.Ini mirip dengan Pak Jaya yang lebih suka tokoh Hanoman dari pada Sun Go Kong.
Di Indonesia terrnyata ada juga warga keturunan etnis Tionghoa bernama Edy Tansil dan orang sejenisnya yang membuat siapapun marah atas tingkah laku mereka.Ada juga Kwee Boen Tjong yang memperkosa pembantunya bernama Karyati, lalu merasa cukup dengan mengganti kebejatan moralnya dengan uang Rp 500.000 tanpa rasa penyesalan dan bersalah sebab baginya seorang pembantu tidak lebih dari pada budak yang dapat diperlakukan semaunya sang majikan.Ketika orang macam Edy Tansil yang kabur membawa harta jarahan dari bumi Indonesia ke tanah leluhurnya di Tiongkok tanpa ada rasa bersalah sedikitpun,maka inilah yang menjadi penyebab mengapa di antara kita timbul sikap curiga mencurigai,sinis, dan lain-lain atas nama kamilah pemilih sah Bumi Pertiwi sementara mereka hanya numpang hidup.
Kami yang berkulit sawo matang sebenarnya memahami bahwa kita lahir sama-sama telanjang tidak membawa bekal apapun selain bekal menangis,namun satu hal yang tidak dapat kita pilih yaitu nasib kita lahir sebagai etnis apa?.Kesadaran bahwa kita menganggap berbeda dengan mereka terjadi karena mereka masih merasa bahwa mereka berbeda dengan kita.Contoh sederhana,kalau kita mendapat undangan pernikahan dari tetangga kami yang Tionghoa,kita dibedakan dengan tamu undangan dari sesama etnis Tionghoa.Baik bentuk kartu undangannya,jam resepsinya dan jenis menu yang disajikan karena nilai uang sumbangannya berbeda besarnya.
Di Jakarta saat banyak keluarga yang kesulitan memberi makan keluarganya seharga Rp 20.000/hari untuk satu keluarga dengan 3 orang anak,saudara kami yang Tionghoa makan di restoran dengan menu sirip ikan hiu dan sop sarang burung walet seharga Rp 1.000.000,-/porsi.Memang tidak semua seperti itu,namun dari yang kecil-kecil inilah bibit-bibit kecemburuan tersemai.
Terkadang juga kami dianggap objek ekonomi untuk mencari keuntungan oleh saudara kami yang Tionghoa.Saat petani mulai musim tanam pupuk sulit didapat karena banyak ditimbun oleh para pedagang yang umumnya Tionghoa.Saat butuh semen untuk membangun rumah atau memperbaiki tembok rumah yang mengelupas,semen tidak ada karena ditimbun dan baru dilepas ketika harga selangit.Mencari untung itu wajib hukumnya bagi pedagang namun jangan terlalu tinggi-tinggi.
Kadang kala rumah saudara kami yang Tionghoa juga terlalu tinggi pagarnya dan pintunya selalu tertutup sehingga undangan kerja bakti atau ronda malam tidak pernah sampai dan cukup diwakilkan kepada pembantu atau dengan membayar uang kantuk kepada warga yang lain.Mereka tidak tahu bahwa pagar mangkok lebih kuat dari pada pagar tembok.Padahal saat bercengkerama kerja bakti, lek-lekan ronda malam inilah momen paling intim untuk saling berbicara dan memahami sembari ditingkahi gojek kere,humor kaum rendahan yang menyentuh kalbu.Banyak contoh lain yang bisa ditampilkan namun cukuplah itu dulu agar ada kesadaran yang tergugah.
Indonesia ini akan indah,damai,nyaman jika kita saling memahami.Saling memahami adalah kata kunci.Dikotomi antara pri dan non pri,Jawa dan luar Jawa,Islam dan non Islam,sipil dan militer terbukti hanya mampu melahirkan disparitas tanpa mampu membuat Indonesia yang kuat dan bermartabat.Dikotomi itu rupanya memang sengaja diciptakan agar menjadi hantu menakutkan.
Bagi Anda yang suka membuat dikotomi,antara pri dan non pri tidak ada jika kita menyempatkan diri mengunjungi Desa Rancakebo di Cikupa Tangerang karena mata hati kita akan terbuka bahwa di tempat yang cuma selemparan batu dari Jakarta banyak orang Tionghoa Benteng yang sama seperti orang asli desa berkulit hitam kerjanya bertani,angon bebek jauh dari stereotif etnis Tionghoa yang kempling,wangi dan kaya.Dikotomi antara Jawa dan luar Jawa sirna jika kita datang ke Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi karena mereka hidup damai berdampingan mengelola tanah Jambi yang memberi hidup mereka.Dikotomi antara Islam dan non Islam pupus dengan berkunjung ke Dusun Senggrong dan Nglembah di Desa Blingoh Kecamatan Donorojo Jepara sebab didesa itu tersembul kehidupan keagamaan yang harmonis antara Islam,Budha dan Kristen tanpa syak wasangka dan mereka saling membantu.Di tempat-tempat yang saya sebut tadi amatilah dengan hati,baru buatlah kesimpulan mengenai Indonesia. Pak Jaya,Anda tidak minoritas apalagi sendirian!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar