Senin, 23 Agustus 2010

RUMITNYA PPDB DI SOLO

Degup jantung orangtua murid terus dipacu di dalam mempersiapkan masa depan anak-anaknya. Pasca-Ujian Nasional SD, SMP dan SMA/SMK, masalah yang dihadapi orangtua yang menyekolahkan anaknya di Kota Surakarta berikutnya adalah terkait mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah pilihan.
Kali ini, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) berencana menggunakan Kartu Keluarga (KK) sebagai salah satu syarat kelengkapan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMP dan SMA/SMK pada tanggal 1 sampai 3 Juli 2010. Di samping SKHU yang berisi nilai mata pelajaran yang di UN-kan dan porto folio berupa piagam penghargaan yang diraih oleh peserta didik di ajang perlombaan dalam berbagai tingkatan yang memiliki nilai untuk dikonversikan dengan nilai Ujian Nasional.
Kebijakan ini membuat para orangtua yang memiliki KK berasal dari luar kota bingung, masygul dan tidak percaya sebab meskipun anak mereka berasal dari SD/SMP di Surakarta, akan tetap dipandang sebagai anak dari luar kota jika KK yang ditunjukkan saat mendaftar berasal dari luar Surakarta. Rencana ini disusul dengan penambahan kuota 20 persen bagi siswa dari luar Kota Surakarta. Publik harus berani bersuara untuk menolak kebijakan ini.
Mereka malah ada yang sampai berencana pindah KK bagi anak-anaknya dengan menumpang KK milik familinya di Solo. Sebuah tindakan yang menyayat hati dan menusuk sendi paling dasar kemanusiaan kita semua.
Langkah Blunder
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah untuk siapa kebijakan ini diambil? Siapakah pihak yang paling diuntungkan atau dirugikan dari kebijakan ini jika jadi diterapkan? Serta apa akibat yang timbul di masa datang terkait mutu pendidikan di Kota Surakarta?
Tidak sulit untuk menjawabnya. Pemerintah Kota Surakarta pasti akan berdalih kebijakan ini untuk warga kota. Yang paling diuntungkan adalah SMP/SMA/SMK swasta di Kota Surakarta dan anak-anak yang kebetulan orang tuanya memiliki KK Kota Surakarta. Yang paling menderita karena dirugikan atas kebijakan ini adalah SMP/SMA/SMK Negeri serta siswa-siswi yang orangtuanya memiliki KK luar kota. Akibat yang akan timbul di kemudian hari adalah sekolah negeri di Kota Surakarta akan tertinggal dengan sekolah swasta. Dan yang paling pokok kebijakan ini memiliki dasar atau argumentasi yang lemah dan mudah untuk diperdebatkan dasar hukumnya. Kebijakan yang blunder.
Dengan logika paling sederhana adalah anak-anak pintar yang kebetulan orangtuanya memiliki KK luar kota akan memilih SMP/SMA swasta. Sebab sekolah swasta tidak akan mempersyaratkan penggunaan KK. Anak pintar dari luar kota sangat dirugikan meski SD/SMP mereka tempuh di Surakarta, sebab mereka masuk dalam kuota 20 persen. Anak-anak pintar ini umumnya sekolah di swasta yang dalam UN tahun 2009-2010 mendominasi peringkat atas di Kota Surakarta sebagaimana dilansir oleh Kepala Disdikpora Surakarta (Solopos, 12/6). SMP/SMA Negeri akan menampung siswa dalam kota yang sebagian besar dari sekolah negeri dengan nilai akademik rendah. Problematika bagi SMP/SMA Negeri adalah dengan input siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah sebagaimana tercermin dari nilai UN bagaimana output mereka tiga tahun yang akan datang setelah digembleng di sekolah tersebut? Ini pekerjaan besar yang luar biasa berat terutama bagi SMP/SMA yang selama ini terbiasa memperoleh input bagus dari para siswanya.
Diskriminatif
Proteksi, apa pun wujudnya adalah tindakan yang diperlukan untuk melindungi sebuah kepentingan. Tindakan ini benar jika proteksi itu bertujuan melindungi semua elemen anak bangsa dari bangsa lain, bukan melindungi anak bangsa dari anak bangsa yang lain dengan melihat dari selembar KK. Apakah kepentingan Pemerintah Kota Surakarta memproteksi dunia pendidikannya dari serbuan siswa dari luar kota? Apakah ini wujud ketidakrelaan pemerintah kota atas setiap sen rupiah yang diinvestasikan dalam sektor pendidikan dinikmati oleh siswa luar kota? Terlalu naif jika alasan ini dijadikan pembenar.
Sebagai contoh dapat saya sebutkan di sini yaitu anak dari luar kota umumnya bersekolah di sekolah swasta favorit berbasis agama, bermutu dan memiliki nilai plus dalam proses pembelajarannya serta relatif mahal. Orangtua mereka tidak tertarik ketika Pemerintah Kota Surakarta mengeluarkan program BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta).
Mereka sadar tidak berhak memiliki kartu tersebut karena memiliki kesadaran bahwa pendidikan anak adalah investasi yang secara otomatis mereka keluarkan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya kelak. Mengapa kesadaran yang luar biasa tinggi ini dibalas dengan kebijakan protektif kontraproduktif sebagaimana yang akan diambil oleh Disdikpora Surakarta dengan membedakan asal-usul mereka? Padahal mereka bersekolah di Kota Surakarta, ikut berkontribusi dalam kemajuan jagat pendidikan Kota Surakarta.
Kebijakan ini jika betul-betul diterapkan secara yuridis akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dan saya yakin kebijakan tersebut akan ditentang oleh masyarakat. Bisa jadi SK yang mendasari kebijakan itu akan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebuah kebijakan yang konyol. Tidak boleh ada dikotomi antara anak yang orangtuanya memiliki KK dalam kota atau luar kota bagi anak yang menempuh pendidikan di Surakarta. Dalam derajat yang paling ekstrem saya khawatir akan ada tindakan balasan dari daerah lain, misalnya Pemkab Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, dan Boyolali yang warganya tiap pagi mengantar anaknya bersekolah di Kota Surakarta kepada pemerintah Kota Surakarta atas perlakuan diskriminatif kepada warga mereka oleh Pemkot Surakarta. Tit for tat alias balas dendam.
Dunia pendidikan semestinya berada dalam garda terdepan dalam melibas dikotomi dan diskriminasi. Sebab dua hal itu hanya akan melahirkan disparitas. Mendikotomikan antara anak dalam kota dengan anak luar kota lewat secarik kertas KK akan dibayar mahal yaitu lahirnya sikap sempit pandangan pada diri anak. Lambat laun akan lahir sikap saling curiga di antara mereka. Diskriminasi mengajarkan bahwa mereka dipinggirkan, sebab bukan jalan lapang tetapi untuk menjegal.
Meletakkan masa depan anak di atas segala-galanya harus menjadi dasar pijakan yang diambil oleh Dinas Pendidikan. Masa depan itu bukan untuk direduksi dalam sebuah kebijakan dangkal dengan alasan-alasan sempit, dan mengada-ada seperti penggunaan KK dalam PPDB. Sebab KK dibuat bukan untuk tujuan membatasi hak-hak warga terhadap akses pendidikan. Namun untuk memberi kepastian dalam rantai birokrasi pemerintahan misalnya hendak mengurus KTP, memperoleh kompor gratis, dan untuk mengurus surat karena hendak mantu atau nyunati anak.
JOGLOSEMAR,28 JUNI 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar