Senin, 23 Agustus 2010

UJIAN NASIONAL YANG CACAT HUKUM

Setelah tanggal 22 Maret 2010 seluruh siswa kelas III SMA di Indonesia mengikuti Ujuan Nasional kini tanggal 29 Maret giliran kelas III SMP yang mengikuti UN.Pelaksanaan UN agak dipaksakan,karena berdasarkan Keputusan MA tertanggal 14 September 2009 telah menolak pengajuan kasasi pemerintah, terhadap putusan majelis hakim tentang gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi pemerintah ibarat menyuruh anak makan suatu barang yang hukumnya diharamkan. Pertanyaan jahil sekarang adalah,jika Permendiknas tentang UN menyalahi aturan perundangan di atasnya,apakah semua produk yang dihasilkan dari UN tersebut secara yuridis juga cacat hukum?.Apakah ijasah yang dipegang siswa syah secara hukum?.
Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah dalam perkara ujian nasional. Alasannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru.
Citizen lawsuit itu diajukan oleh 58 orang guru dan elemen masyarakat yang menolak ujian nasional sebagai syarat kelulusan siswa pada tahun 2008. Putusan ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, tapi pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang diajukan pada tanggal 5 November 2009.
Dampak dari ditolaknya kasasi ini, maka keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang sudah dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, harus dilaksanakan oleh pemerintah, dalam bentuk pengubahan pasal 72 dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 yang mengatur tentang kelulusan siswa berdasarkan ujian nasional. Seluruh rencana UN di Indonesia untuk tahun 2010 harus dibatalkan, hingga pemerintah mampu memenuhi putusan pengadilan dalam citizen lawsuit.
Pemerintah dalam hal ini Mendiknas telah melampaui batas kewenangan dan melanggar UU Sisdiknas karena Mendiknas lama, Bambang Sudibyo menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 74 Tahun 2009, dan Peraturan Menteri Nomor 75 Tahun 2009, seminggu sebelum diganti. Kedua PerMen itu tertanggal 13 Oktober 2009. Pemerintah juga telah melanggar peraturannya sendiri PP No.19 tahun 2005 yang menyatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik.
Sebab menurut Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.Sementara ayat 2 menyatakan, Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala.Kedua ayat itu dengan tegas menyatakan tidak mengenal Ujian Nasional apalagi dengan standard kelulusan yang sama.
Mengapa sebuah kebijakan yang cacat hukum tetap saja dijalankan?. Seribu alasan dicari,seribu jalan ditempuh pemerintah untuk mencari pembenaran.Alasan mengapa Ujian Nasional tetap dijalankan meski dalam tingkat kasasi kalah?.Menurut Mendiknas, saat ini Departemen Pendidikan Nasional belum menerima secara resmi dan utuh salinan putusan Mahkamah Agung.Aneh juga jika sebuah keputusan besar dan penting terlambat diterima.(Dengan logika sederhana,saya yang besar di Jakarta biasa main sepeda selepas sahur bulan puasa dari kawasan Medan Merdeka Utara tempat gedung Mahkamah Agung sampai Jalan Sudirman Senayan tempat Mendiknas berkantor hanya perlu waktu 30 menit.). Karena itu, Depdiknas akan mengajukan PK segera setelah menerima salinan resminya.Hal yang lumrah dalam proses peradilan,namun tidak lumrah karena ini menyangkut nasib jutaan siswa anak bangsa yang menjadi korban.
Vedimus Omnia
Rakyat kadang kala gatal telinganya.Dalam banyak kasus putusan pengadilan hanya macan kertas dan suara rakyat tidak didengar.Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional mencampakkan semboyannya” Ing ngarso sung tulodho” karena pemerintah tidak memberi contoh keteladanan yang baik bahwa hukum harus ditaati,Depdiknas membuang ”ing madya mangun karso” karena pemerintah tidak mengajak elemen pendidikan untuk sebuah prakarsa UN yang baik,dan tidak tut wuri handayani” karena pemerintah tidak mengikuti prakarsa masyarakat dan paling yakin bahwa prakarsanya berupa UN yang paling baik.
Depdiknas justru mengambil semboyan Departemen Pertahanan Amerika Serikat,Vedimus omnia,kami melihat semuanya,artinya pememrintah tahu semua yang dibutuhkan.UN ditentang masyarakat karena Ujian Nasional bermasalah dari segala sisi, baik hukum yaitu Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 maupun aspek pedagoginya yaitu menganggap anak didik yang multi dimensional sebagai barang yang standarnya disama ratakan.
Ujian Nasional ditolak karena kelulusan yang distandarkan diseluruh Indonesia tanpa memperhatikan karakteristik siswa di setiap wilayah dan aspek-aspek yang diujikan tidak mencerminkan proses secara keseluruhan pendidikan anak selama 3 tahun di SMP/SMA dan 6 tahun di SD/MI.Miris saya membaca sebuah berita mengenai anak kelas III SMA di Papua yang menjawab pertanyaan soal Bahasa Indonesia,bentuk kalimat pasif “saya makan ubi” adalah “ubi makan saya”.Serta tingkat kelulusan yang sangat rendah yaitu 7,19% setara 630 dari 8.762 anak di Propinsi Papua Barat dan 9,45 setara 2.105 dari 20.158 siswa di Propinsi Papua.(Kompas,12/3/2010).Standarisasi pendidikan yang paling dirugikan adalah siswa dari daerah pedalaman yang belum maju,belum tersentuh pemerataan pendidikan.
Penolakan selanjutnya karena terjadi kecurangan yang muncul dari ujian nasional yng tidak hanya kasuistik, melainkan sudah sistemik. Artinya, guru dan kepala sekolah terpaksa harus curang sebagaimana terjadi dibeberapa daerah karena tekanan politis kepala daerah yang malu jika tingkat kelulusan ujian di wilayahnya rendah. Jadi dalam kaca mata pejabat era otonomi ini,peningkatan kualitas suatu daerah dianggap lebih penting daripada standar kelulusan itu sendiri.
Mencari solusi
Ujian Nasional yang bukan solusi terbaik untuk mengukur pencapaian target mutu sumber daya manusia.Banyak cara yang dapat ditempuh diantaranya adalah menghilangkan Ujian Nasional dan menyerahkan standard kelulusan kepada masing-masing sekolah.Namun faktor utama adalah benahi dahulu sistem pendidikan yang carut marut,manipulatif,dan dijalankan oleh birokrat pendidikan yang korup.Kita tahu bahwa sistem pendidikan kita hanya mengakomodir kemampuan otak kiri dalam bahasa psikolog,dan mengabaikan kemampuan otak kanan.Artinya hanya memberi ruang apresiasi kepada anak pandai,cerdas namun mencampakkan anak yang kreatif.
UN telah banyak memakan korban yaitu anak didik,orang tua,sekolah dan dunia pendidikan itu sendiri. Beragam persoalan muncul antara lain kecurangan yang dilakukan siswa,guru dan kepala sekolah.Penyebabnya setiap satuan pendidikan berlomba-lomba meluluskan peserta didik sehingga cenderung menempuh berbagai cara misalnya menurunkan SKL atau Standar Kelulusan yaitu nilai minimal kelulusan serendah mungkin untuk menghindari agar anak tidak lulus karena nilai UN yang jeblok.Beban psikologis peserta didik yang malu,perasaan tersingkir dan sia-sia telah belajar lama.Distribusi materi UN yang carut marut,adanya pelanggaran prosedur dan tidak ada lembaga pemantau yang kredibel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar