Senin, 23 Agustus 2010

Selamati daku.kau kuselamatkan

Saat pelantikan Barack Obama dan Joe Bidden dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Januari 2009, saya mencoba mencari beberapa koran dan majalah utama yang terbit di AS apakah ada ucapan selamat dari berbagai pihak baik pribadi, perusahaan di sana atas pelantikan itu. Hampir d semua media tersebut tidak saya temukan ucapan selamat atas dilantiknya Obama menjadi presiden negara sebesar dan sepenting AS.
Perusahaan besar dan pribadi-pribadi VVIP seperti miliuner Warren Buffet, Bill Gates dan lainnya tidak ada yang mengucapkan. Timbul pertanyaan dalam diri saya apakah tidak penting bagi mereka itu untuk mangayubagyo pelantikan sang presiden? Padahal mereka mampu memasang iklan satu halaman penuh di majalah TIME, The Washington Post atau The New York Times. Mereka memang ada yang menjadi penyandang dana kampanye, namun ketika kandidat yang didukung sudah jadi, mereka memilih menghindar sebab takut akan mendapat tuduhan memanfaatkan posisi seseorang.
Lalu saya bandingkan dengan keadaan di Indonesia saat ada pelantikan pejabat publik dengan contoh saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia bulan Oktober 2009. Pembaca koran dan majalah di Indonesia dibuat pening kepalanya sebab hampir semua halaman media cetak dan elektronik memuat iklan ucapan selamat yang dipasang oleh berbagai macam perusahaan besar di Indonesia baik yang lokal maupun perusahaan asing, termasuk yang dari AS.
Dalam skala yang lebih kecil, saat pelantikan gubernur dan wabup, Kapolda semua koran lokal dan regional yang terbit di wilayah kekuasaan sang gubernur halamannya diokupansi oleh iklan ucapan selamat dan sukses disertai doa dari pejabat di tingkat provinsi.
Hal itu juga terjadi saat pelantikan walikota dan wakil walikota atau bupati dan wakil bupati di suatu daerah. Bahkan seorang Bupati yang baru dilantik menyuruh ajudan agar mendata siapa-siapa saja yang memberikan ucapan selamat di media massa, dan menarik kesimpulan bahwa mereka baik pengusaha atau pejabat daerah yang tidak memberikan ucapan selamat ditengarai berada di pihak lawan saat Pilkada. Ujung-ujungnya mereka semua dicopot dari jabatannya. Tragis memang.
Pamrih
Gejala apa ini? Memang tidak ada yang salah dalam hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apa motivasi dan pamrih dari sebuah iklan ucapan “Selamat dan Sukses” dalam kultur Indonesia terutama Jawa? Saya jadi ingat dengan Langgam Ali-Ali karya almarhum Gesang yang berbunyi, ”Nganggoa ali-aliku pamrihe, ojo lali marang aku”. Artinya pakailah cincin pemberian saya dengan harapan tidak lupa kepada saya. Dalam kasus pemberian ucapan selamat dan sukses atas pelantikan seorang pejabat publik dengan nama terang perusahaan, instansi dan nama pimpinannya ada maksud terselubung dari si pemasang iklan agar pejabat tersebut tidak lupa kepadanya. Tidak lupa dalam hal ini dapat dimaknai kalau ia seorang pengusaha maka berilah kemudahan dalam urusan usahanya. Kalau ia birokrat daerah maka amankan posisinya dan kalau perlu promosikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ucapan selamat adalah upeti pertama yang diberikan oleh seseorang bawahan kepada atasannya. Lazimnya pemberian upeti pada zaman kerajaan dahulu, para pemberi upeti mengharapkan agar sang raja mengamankan posisi dan jabatan serta status sosial mereka. Dari zaman dahulu hingga saat ini, bahwa sebuah jabatan adalah simbol status sosial dan muara untuk memperoleh kemakmuran. Sebab dengan jabatan yang diemban oleh seseorang artinya ia mendapat privelage dan kemudahan atas akses bernilai ekonomi.
Siapa pun kini pasti menginginkan kalau bisa sebuah jabatan dan posisi empuk akan dipegang selama-lamanya. Setelah upeti pertama yang dalam zaman modern ini berupa iklan ucapan selamat, langkah berikutnya dalam rangka mengamankan jabatan yang bersangkutan adalah kewajiban memberi setoran agar ia tidak digeser. Kursi jabatan publik dilelang kepada siapa pun yang berminat dan dalam sebuah lelang, siapa yang berani menawar dengan harga paling tinggi, maka ialah pemanangnya. Inilah yang juga terjadi dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yakni terkuaknya penyaluran Cek Pelawat/Traveler Chaque bernilai ratusan juta per anggota. Hal itu sebagaimana terkuak dalam persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyeret kalangan anggota dan mantan anggota DPR RI.
Iklan ucapan selamat dipasang untuk menyelamatkan posisi si pemasang. Tidak ada tujuan lain selain itu. Secara kasat mata dapat diketahui mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan mendapat promosi jabatan. Sementara mereka yang alpa akan kehilangan jabatan empuk. Dalam era otonomi seperti sekarang ini, seorang kepala daerah mampu menentukan hitam putih karier seseorang pejabat. Sebab bupati/walikota punya mau dan punya kuasa.
Meski seseorang memiliki reputasi hebat dan kapabilitas luar biasa akan tersingkir, sementara seseorang dengan kemampuan tidak memadai asal memiliki kemampuan menjilat dan menyenangkan atasan akan memperoleh posisi nyaman. Adagium yang berbunyi the right man on the right place sudah menjadi sampah dalam matrikulasi birokrasi sekarang ini. Sebab diganti right place for those who can effort it. Jangan heran jika seorang pejabat dengan latar belakang guru dimutasi menjadi pengawas koperasi dan seorang mantan lurah pasar menjadi pejabat yang mengurusi guru. Karena untuk meraih suatu jabatan mesti dengan mengeluarkan uang, jer basuki mawa bea, maka pejabat publik memakai hukum dagang yakni melakukan berbagai macam cara untuk mengembalikan uang yang sudah diinvestasikan untuk meraih jabatan tersebut plus keuntungannya. Jer basuki maknanya jika ingin mulia atau basuki harus ditempuh dengan keluarnya biaya, mawa bea. Ujung-ujungnya lewat cara nista yakni korupsi. Di banyak negara seseorang harus kaya dahulu baru bisa menduduki sebuah jabatan. Tetapi di Indonesia, menduduki jabatan dahulu setelah itu baru kaya.
Iklan ucapan selamat dan sukses di media massa yang dipasang untuk menyambut pelantikan seorang pejabat, adalah wujud paling vulgar dari kedangkalan cara berpikir seseorang dalam memandang sebuah kekuasaan. Jika sebuah jabatan hanya dipandang sebagai arena mencapai kenikmatan pribadi dan bukan sebagai tempat berkhidmat untuk melayani rakyat banyak, maka jangan heran jika dinginnya ruang tahanan di balik jeruji besi penjara adalah persinggahan terakhir bagi pejabat tersebut. Lihatlah nistanya seorang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, kepala dinas yang menjadi penghuni penjara satu level dengan maling ayam, maling jemuran, pembunuh dan bromocorah. Padahal dahulu saat mereka berkuasa dipuja-puja. Inilah yang namanya banalitas kekuasaan. (***)

JOGLOSEMAR,21 AGUSTUS 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar